Kau terkunci di dalam

Kubuka catatan harian
dan kau tergoda untuk masuk di sana
meski aku lebih menyukai petir dan ombak
daripada sifat menggelegarmu
kau tetap masuk
menghabiskan halaman demi halaman
.
dan ketika angin sejuk, kumbang dan kembang mengetuk
kau mengunci pintu rapat-rapat
bahkan
aku dengan bilah penaku kedinginan dan menggigil di luar
.

“The diary” 1988

(di sadur dari Blog http://www.1986-1989.blogspot.com)

Setangkai puisi

Janggutmu yang menjuntai

melambai

laksana nyiur di pantai indah

dihembus angin sepoi-sepoi

kadang kutebak

kehidupan apa yang ada di sana

dan dikejauhan

sebuah pisau cukur tersenyum berbinar

Sketsa Jiwa dan Dawai

Aku lahir dari rahim pagi yang anggun

dan dinginnya malam yang suka bersenandung sendiri

di garis-garis senar yang bergetar

karena angin dewa cinta sudah low

aku terjermus ke jurang tanpa wiwaba

dan kata-kata jadi paku dan asam yang mengecewakan

Jadi kupetik buah-buah dosa menjadi kesepian panjang

Tuhan atau Hantu

api atau embun

malaikat atau iblis

berperang di batinku

Dan ketika kupuisikan

pada akhirnya

aku jadi percaya memang Kau

yang menitiskan daging dan jiwaku

dan mendesahkannya di senar-senar

kegembiraan dan kesepianku

itulah Sketsa Jiwaku

(1986-1989)

Sketsa hati

Hatiku dingin – beku

kuselipkan di rak buku

satu demi satu

diantara visual basic dan foxpro

dan ketika musik “LaVraieMusiqueDe L’amour” berkumandang

semesta kesepian menyergapku

melahirkan helai demi helai beku berikutnya.

Senandung Untuk Kejujuran

Kejujuran kadang menyakitka, tapi itu lebih baik daripada jika harus menyimpannya menjadikan pikiran, hati dan tubuh menjadi semakin lebih sakit dan rapuh.

Memang butuh keberanian untuk mengungkapkan kejujuran, keberanian lebih menyala jika ada kebenaran di dalamnya, dan kebenaran akan datang jika ada  kejujuran.

Wajah Sang Pencipta

Aku mencari, masih adakah bias wajah sang Pencipta  di wajah bayi yang baru saja lahir,  atau di wajah ketika seseorang akan di jemput maut?

Afrika Yang Resah (Okot p’Bitek)

Sebagian besar pengarang-pengarang belahan dunia terutama Asia, bahkan Afrika, secara sadar atau tidak sadar selalu haluan ilustrasinya bergumul dengan pengaruh kebudayaan barat. Kecil apa tidak, pasti ditemukan pengaruhnya termaktub dalam tulisan-tulisan mereka, bagaimanapun kerasnya mereka berusaha memurnikan alam pikirannya untuk sebuah karya dari pengaruh pihak manapun. Demikian pula dengan Okot p’Bitek, ia tak luput dari hal itu, namun pencarian jati diri di tengah pergumulan dengan pengaruh budaya barat ternyata menghasilkan tulisan yang lebih mematangkan makna sehingga tulisan-tulisannya lebih berkualitas, lebih berbobot dan justru semakin  mengesensikan dunia Afrika dibanding dengan esensi akibat pengaruh dunia barat itu sendiri. Dengan kata lain pengaruh budaya barat bagi diri Okot p’Bitek justru menghasilkan tulisan yang hasil akhirnya  justru bisa lebih menonjolkan roh Afrika-nya. Ini bisa kita lihat dari karya-karya matangnya yang sudah tidak asing lagi bagi dunia sastra antara lain : “Song of Lawino (1966)” dan dilanjutkan dengan “Song of Ocol (1970)”. Dan sudah banyak yang mengakui  dan menjadikan bahan kajian untuk sastra dan budaya, karena nilai seni dengan warna budaya yang kental yang dikandung terutama dalam buku “Song of Lawino”.

Para peminat sastra di Indonesia beruntung bisa mendapatkan terjemahan dua buku koleksi di atas yang digabung dalam satu buku. Barangkali kita tidak akan menemukan esensi sejati dari sajak ini kecuali kita mengerti bahasa, sastra dan kebudayaan Afrika. Karena memang setiap sastra yang diterjemahkan, tentu nilai-nilai instristik seperti yang diharapkan pengarangnya sulit tercapai, sehebat apapun penterjemahnya. Namun meskipun sudah melewati dua saringan yaitu dari bahasa Lwo (Afrika) ke bahasa Inggris, lalu dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, tapi untunglah buku “Nyanyian Lawino” ini diterjemahkan oleh ahli yang sudah berpengalaman, yaitu Sapardi Djoko Damono yang dengan sangat hati-hati dalam segala hal termasuk dalam pemilihan kata, sehingga sedikit banyaknya jiwa kita bisa merasakan roh aslinya (Sastra Afrika) dalam setiap bait-bait yang diterjemahkan. Ini lebih memudahkan kita daripada harus belajar bahasa Lwo untuk menyelami jiwa seni sastrawan Afrika itu. Untuk  Buku “Nyanyian Ocol”, Okot p’Bitek langsung menggunakan bahasa Inggris, jadi bukan bahasa Lwo. Judul buku terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah Afrika Yang Resah : Nyanyian Lawino dan Nyanyian Ocol, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 1988.

Persoalan yang dibahas sekilas kelihatan kecil, yaitu persoalan yang timbul di antara  dua sosok yang bernama Lawino dan Ocol. Namun hakikat yang ditemukan dalam persoalan yang kelihatan kecil itu adalah gambaran dari persoalan besar sebuah negara yang baru saja lepas dari penjajahan Barat yaitu persoalan sosial, budaya, ekonomi, politik, agama dsb.

Dengan buku ini kita diajak melihat rantai persoalan kompleks, melingkupi semua unsur  melalui  sudut pandang dari dasar hati yang paling dalam, yang sederhana dan lugu.

sebagai contoh jiwa Afrika dalam banyangan pengaruh Barat, dilukiskan oleh jiwa yang tulus, lugu dan sederhana adalah terlihat dari baris  kata  si Lawino yang protes pada suaminya si Ocol :

Aku sangat takut akan kompor listrik,
……………………
Siapa pula yang masak sambil berdiri?
…………………..
Dan kompor itu banyak matanya,
Mata mana yang harus dipencet
Sehingga api disemburkan …………………….

Ada banyak rangkaian kata memikat dari sastrawan Afrika ini. Bagi yang menyenangi budaya, sosiologi dengan unsur sastranya, maka sungguh nikmat membaca sajak-sajak ini sambil mengarungkan jiwa ke dunia Afrika sana. Rasanya sulit mengalami kebosanan membaca buku ini meski sudah dilakukan berulang-ulang.

Secara singkat, buku sajak bertema politik, social, budaya ini merupakan salah satu buku sastra yang punya nilai koleksi tinggi, karena selain dikarang oleh ahli sasta yang sangat terkenal dan berpengaruh di  Afrika, juga karena nilai isi buku ini patut diapresiasi dengan positif. Bersinggungan dengan masa peralihan di mana suatu negara baru saja lepas dari kekuasaan penjajahan Barat tentulah merupakan  suatu moment yang tepat bagi terciptanya sebuah karya sastra berbobot, pada keadaaan ini, setiap buah karya sastra biasanya unsur budaya asli berusaha keras menyeruak kepermukaan namun dibayangi penuh oleh  pengaruh luar yang amat kuat. Salah satu hasilnya yang luar biasa adalah karya Okot p’Bitek ini.

Seni

Seni adalah pelabuhan di kala senja, tempat jiwa istirahat dari hiruk pikuk dan hingar-bingar, intrik-politik dan  1000 topeng duniawi yang menyebar di sepanjang jalan hari.

Jatuh cinta

Ada yang bilang,

jatuh cinta berjuta rasanya

lalu kucoba mengurai :

  • asam
  • pedas
  • pahit
  • agak pedas dikit
  • pedas ke asam-asaman
  • pedas kemanis-manisan
  • pedas amat
  • pedas amit
  • pedas nian
  • pedas agak sepat
  • pedas mercon
  • sangat asam
  • agak asam
  • asam agak pahit
  • asam manis
  • asam kayak ketek
  • asam semriwing

terusin dah ampe mulut loe gempor

Puisi untuk Dian sastrowardoyo

Di google kuketik sastro

ada 3 juta hasil telusur

nama kamu paling atas

nama aku paling bawah

andai itu tanpa nama

banyak dah…anak kita

dian-sastro1